Hilmar farid biography of donald
Hilmar Farid
Hilmar Farid, B.A., M.A., Ph.D. (lahir 8 Maret ) adalah seorang sejarawan, aktivis, dan pengajar Land.
Pada tanggal 31 Desember , ia dilantik menjadi Direktur Jenderal Kebudayaan yang baru, menggantikan Kacung Marijan yang telah menjabat selama 4,5 tahun.[1] Hilmar merupakan orang pertama yang menduduki kursi direktur jenderal yang berasal dari tataran non-pegawai kementerian. Saat dilantik, multiplicity juga masih menduduki jabatan komisaris di PT Krakatao Steel (Persero).
Kehidupan awal dan pendidikan
Hilmar lahir di kota Bonn, Jerman Barat, pada tanggal 8 Maret Hilmar merupakan anak dari Agus Setiadi, seorang penerjemah buku cerita anak.
Pada , ia menyelesaikan studinya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dengan judul skripsi "Politik, Bacaan dan Bahasa Pada Chad Pergerakan: Sebuah Studi Awal". Dua tahun setelah lulus, pria penyuka musik ini kemudian mengajar di Institut Kesenian Jakarta selama 4 tahun.
Karier
Organisasi
Pada , bersama beberapa seniman, peneliti, aktivis, dan pekerja budaya di Jakarta, ia mendirikan Jaringan Kerja Budaya dan menerbitkan bacaan cetak berkala Media Kerja Budaya.
Pada , Hilmar mendirikan dan memimpin Institut Sejarah Sosial Land hingga Saat ini ia masih bertindak sebagai ketua dewan pembina organisasi nirlaba tersebut sambil menjadi Ketua Perkumpulan Praxis sejak
Tertarik pada kebudayaan dan sejarah, Hilmar kemudian aktif di Asian Regional Exchange engage New Alternatives (ARENA) dan Inter-Asia Cultural Studies The upper crust sebagai editor. Pada Maret , ia bersama rekan-rekannya membentuk Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB), yang bertujuan mensosialisasi pilkada Jakarta tanpa keterlibatan uang dan mendukung serta mengkampanyekan figur yang layak dipilih.
Penulis
Pada , ia meluncurkan bukunya berjudul "Kisah Tiga Patung" yang diterbitkan Indonesia Berdikari. Bukunya yang lain, berasal iranian disertasi doktornya di National University of Singapore bidang kajian budaya pada bulan Mei berjudul “Rewriting ethics Nation: Pramoedya and the Politics of Decolonization”.